Bebaskan Negeri dari Pecandu Plagiarisme

Oleh : Nita Nurhasanah

Skandal akademik di Indonesia kini dihebohkan dengan kasus plagiarisme yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Kasus ini mengulang hal serupa yang terjadi tiga tahun lalu di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Plagiarisme bisa diartikan sebagai tindak pencurian hak cipta milik seseorang yang diangkat seolah-seolah itu adalah ciptaannya sendiri. Kasus plagiarisme di Universitas pertama kali terjadi sekitar awal abad 20-an yaitu di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang mencabut gelar doctor Ipong S Azhar. Sejatinya, kasus plagiarisme ini banyak menimpa kaum intelektual di Indonesia dan kemungkinan jumlah plagiarisme yang tidak ketahuan jauh lebih banyak dibanding yang ketahuan.

Plagiarisme ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, karena adanya kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi yang begitu pesat pada masa sekarang ini membuat kita sangat mudah mendapatkan informasi apapun yang ingin kita ketahui. Hal tersebut menunjukan bahwa kegiatan plagiarisme pun sangat mudah untuk dilakukan. Penyalahgunaan teknologi macam ini sangatlah tidak dibenarkan dalam dunia intelektual. Para pelaku patut ditindak lanjuti secara serius agar mereka tidak kecanduan dengan kegiatan yang kerap disebut sebagai tindak "pelacuran intelektual" ini.

Kedua, kurangnya kreatifitas dikalangan intelektual. Kurangnya kreatifitas ini bisa menjadi pemicu seseorang melakukan plagiarisme. Apalagi bila disertai dengan sikap kemalasan seseorang yang membuat kegiatan plagiarisme 90% bisa terjadi. Oleh karena itu, hindari sikap malas dari usia dini, karena karakter seseorang terbentuk dari kebiasaan orang itu sendiri. Ketika kita membiasakan diri dengan hal yang baik, maka karakter baik dalam diri pun akan terbentuk. Begitu pula sebaliknya.

Kemudian karena minimnya rasa tanggung jawab. Menanamkan rasa tanggung jawab pada diri itu sangat penting. Tanpa tanggung jawab, keteraturan dalam hidup akan susah di terapkan. Seseorang yang melakukan plagiarisme jelas dia tidak bertanggung jawab dan tidak merasa bersalah. Ketika kecurangannya itu tidak diketahui maka ia akan terus melakukannya dengan rasa penuh percaya diri.

Ketiga faktor diatas sebenarnya masih bisa diminimalisir. Ketika kita memiliki rasa keimanan kepada sang Kholik tentunya kita akan berpikir kembali untuk melakukan kegiatan plagiarisme. Kaum intelektual harusnya tidak hanya mengasah kemampuan lahiriahnya saja, kebutuhan rohaniyah jauh lebih penting untuk diasah. Kegiatan "pelacuran intelektual" macam ini mungkin akan sedikit berkurang apabila setiap orang sudah memilki kesadaran sendiri akan bahaya dari sikap tersebut. 

Penulis, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024