Menakar Fakta Kebohongan Dwi Hartanto



Dwi hartanto sempat viral karena prestasi yang sangat luar biasa. Dirinya disebut-sebut sebagai "The next Habibie" mungkin karena kecerdasannya. Tapi beberapa waktu terakhir ini publik di kejutkan dengan pengakuan kalau semua prestasi yang dia umbar ialah kebohongan belaka. Tentu saja ini kabar yang sangat mengecewakan bagi kita semua. Memang benar mungkin indonesia sangat membutuhkan orang "Jujur" bukan orang pintar karena orang pintar bisa saja berbohong tapi orang jujur pasti bisa pintar karena nilai akhlaq sangatlah baik di bandingankan dengan nalai akal atau logika.

Setiap orang pada dasarnya pasti mempunyai rasa ingin diakui itu manusiawi, akan tetapi tidak wajar jika kita melakukan segala cara yang tidak pantas kita lakukan, kita bisa mendapat pengakuan pada orang-orang yang selama ini meremehkan kita dengan usaha kita sendiri. Popularitas hanya efek samping dari kesuksesan, jangan jadikan popularitas sebagai tujuan utama karena hal itu hanya akan membuat beban bagi diri kita sendiri, jika kita hanya ingin mendapatkan popularitas maka itu artinya kita akan mendapatkan kebahagiaan yang semu.

Kalau akar permasalahan yang sebenarnya hanya tokoh atau simbol yang dapat momentum pemberitaan macam dwi sudah habis dihajar dimana-mana sudah selesai perkara. Sementara kebutuhan pengakuan diri, adalah contoh klasik bagi rapuhnya jiwa. Seorang ingin dcitrakan kaya, pintar, cerdas, atau religius, demi mendapatkan tempat di tengah masyarakat, seolah-olah. Demi disangka kaya standar hidup harujs dinaikkan lewat pakaian, mobil ataupun rumah. adapula yang demi terlihat religius, ia membungkus diri dengan atribut ibadah. Selfie saat ibadah adalah bentuk halus dari bangunan citra diri yang religius.

Di Era medsos sekarang, sepatutnya segala lini cukup kritis untuk mengecek benar atau tidaknya kabar yang beredar. Kasus ini layak membuat prihatin. Dunia akademik kita masih terus di langgar oleh watak dan perilaku yang bertolak belakang dengan prinsip keilmuan. jika prinsip ini dilanggar, pasti ada penyebab yang mendorongnya. Kompetesi global dan budaya instan adalah dua faktor yang sering membuat sejumlah akademis mengingkari prinsip kepribadiannya. Pelajaran ini lebih mengarah kepada komunitas ilmuwan dan bangsa kita. Jangan nodai dunia ilmu pengetahuan dengan berbagai kecurangan. Sebaiknya masyaraklat juga jangan mudah kaget dan kagum. Akademisi dan masyarakat perlu bersama menegakkan integritas bangsa ini agar indonesia bisa maju.

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024