Oleh : Halua Fuziah Alhaq
Di zaman Modern ini pasti banyak sekali aplikasi-aplikasi online yang baru, termasuk aplikasi "Uber" atau "Grab". Masalah Aplikasi teknologi dalam sistem transportasi umum kembali mengemuka ketika muncul aksi demo dari pihak angkutan umum legal di depan Ujung berung minggu lalu. Aksi demo tersebut merupakan akumulasi kekecewaan dari pihak pengemudi angkutan umum atas ke majuannya layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, baik untuk empat roda maupun roda dua.
Kehadiran layanan angkutan berbasis teknologi tersebut dirasakan telah menggerus penumpang angkutan umum maupun penumpang ojek pangkalan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak Tahun 2014. Karena aplikasi transportasi ini sangat mudah dan cepat jadi sangat banyak dimintai oleh banyak orang termasuk anak sekolah seperti Mahasiswa, SMP sampai SMA. Angkutan umum biasa, ngetem berjam-jam hingga telat untuk masuk kuliah, kerja atau sekolah. Berbeda dengan Grab yang hanya "klik" pengaturannya saja Grab langsung datang dan tidak lama-lama untuk "Ngetem" (Berhenti).
Bagi mereka yang semula naik mobil pribadi dan pindah ke Grab (Mobil Online), karena dari segi biaya yang standar dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang sepadan. Sedangkan Ojek Online baru marak pertengahan tahun 2015. Memang kehadiran taksi Uber dan Grab secara fungsional merebut pasar taksi regular atau konvesional yang memiliki izin (legal) usaha transportasi. Sementara taksi Uber dan Grab tidak memiliki izin usaha transportasi. Dengan kata lain, pada kasus taksi konvesional versus taksi Online, ada persoalan legal dan ilegal, sehingga pemerintah dapat berpihak secara jelas. Tapi pada ojek pangkalan versus ojek Online sama ilegal. Karena sama-sama ilegal, maka memiliki hak yang sama.
Jadi, solusi atas maraknya layanan angkutan umum yang berbasis aplikasi teknologi, bukan dengan memblokir atau melarang pengguna aplikasi tersebut. Tapi memaksa mereka untuk tunduk pada UU LLAJ yang mensyaratkan penyedia layanan angkutan umum berbentuk badan sebagai penyedia angkutan umum. Masalah taksi Uber dan angkjutan umum bukanlah perang teknologi, melainkan persaingan bisnis yang tidak Equal, Karena yang satu (Uber/Grab) tidak dikenai kewajiban apa-apa oleh pemerintah, sedangkan yang satunya lagi (Taksi Konvesional dibebani banyak kewajiban) . Karena masalahnya adalah persaingan bisnis yang tidak equal, maka peran pemerintah membuat persaingan itu equal dengan mengenakan persyaratan yang sama. Tugas pemerintah adalah membenahi angkutan umum agar aman, nyaman, selamat, lancar dan terjangkau. Secara otomatis masyarakat akan meninggalkan ojek sebagai modal transportasi umum, dan ojek akan lebih tepat sebagai angkutan kurir (pengantar barang). Masalah rezeki itu hanya Allah yang tahu kita sebagai manusia hanya berikhtiar saja.
Mahasiswa KPI UIN Bandung.
Tidak ada komentar
Posting Komentar