Peningkatan Kasus KDRT Berikan Kabar Baik dan Buruk Bagi Pemerintah

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan dan dicari solusinya, karena kasus KDRT ini selalu menjadi tren di masyarakat dari dulu hingga sekarang. Kasus KDRT ini menimpa pada seluruh lapisan di masyarakat mulai dari kelas bawah (lower class), kelas menengah (middle class), dan kelas atas (high class), faktor ekonomi memang menjadi pemicu utama, yang kelas bawah terjadi KDRT karena pelampiasan depresi kurangnya ekonomi, dan yang kelas atas menjadi terlena dengan materi sehingga perselingkuhan, kesibukan karir, menyebabkan moral anak tidak terurus dan imbas pada saling menyalahkan kedua orang tua.

Selain dari pada itu kasus KDRT selalu menarik untuk dibahas karena tingkat laporan masyarakat tentang KDRT mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal tersebut memberikan kabar buruk dan kabar baik, kabar buruknya kita tahu bahwa kasus ini semakin merajalela dari tahun ke tahun walaupun sudah diberlakukan UU tentang KRDT pada tahun 2004, dan kabar baiknya pemahaman masyarakat tentang pelaporan kasus KDRT terjadi keterbukaan dengan aparat hukum agar kasus ini benar-benar dianggap serius untuk segera ditangani, agar memberikan efek jera bagi pelaku, dan agar menjadi cerminan buruk untuk tidak dilakukan di masyarakat.

Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan, dan terakhir Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016, yang dihimpun dari data di Pengadilan Agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di Indonesia. Seluruh data yang dihimpun 94% berasal dari kasus/perkara yang ditangani pengadilan agama yaitu 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berakhir dengan perceraian. Sementera kekerasan yang terjadi di ranah personal ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan mencapai 10.205 kasus.

Walaupun masyarakat banyak melapor tapi yang menjadi catatan adalah jangan sampai kasus ini seperti fenomena gunung es dilautan, sudah terbukti banyak yang lapor tapi masih banyak kasus KDRT yang tenggelam yang tidak tercatat, karena menurut LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum  Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan) Bagi perempuan yang mengalami tindakan kekerasan, tak mudah mendapatkan keadilan untuk melaporkan kasusnya, karena dibebani untuk membayar pemeriksaan Visum et repertum, visum et psikiatrikum (VER), dan kesehatan baik fisik atau psikologis, yang digunakan sebagai bukti untuk pelaporan di kepolisian. Padahal biaya untuk pemeriksaan itu mencapai Rp.150.000, sampai Rp1.500.000, yang termahal adalah untuk korban kekerasan seksual. Seperti yang terjadi pada contoh kasus Korban KDRT Siti Rubaidah yang mengalami pemukulan oleh pria yang ketika itu masih menjadi suaminya, juga melapor ke kepolisian dengan berbekal hasil visum.

Oleh karena itu kasus KDRT ini banyak disebabkan oleh faktor kurangnya pemahaman dan rasa takut pelaku terhadap hukum, baik itu hukum agama, ataupun hukum negara, khususnya bagi imam keluarga sangat dibutuhkan pemahaman tentang agama, karena sebagai imam yang baik yang faham ilmu agama akan menghindari terjadinya KDRT ini, dan catatan tentang UU KDRT dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) harus terus diadakanya kontroling, evaluasi, sosialisasi oleh pemerintah agar masyarakat faham dan juga untuk meminimalisir merajalelanya KDRT yang menjadi tren yang buruk dari tahun ke tahun.

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024