Disintegritas Musiman


Setiap haru pemilihan dekat, atmosfir Indonesia berubah menghangat. Kampanye presiden memang baru dibuka kemarin, tepatnya 23 September 2018. Tapi kasus-kasus serius yang berasal dari desas-desus sudah dimulai lebih dulu. Kampanye besar-tidak resmi- sudah lebih awal memulai. Calon pilihan masing-masing orang membuat mereka merasa berbeda satu sama  lain. Perang dingin terjadi dimana mana
Ada seorang kakak beradik. Mereka bertengkar seolah memutus hubungan karena kakaknya memihak pilihan nomer satu dan adiknya memihak pilihan nomer dua. Dalam kasus lain, ada sepasang guru dan murid. Sang guru tidak mau mengakui muridnya lagi karena tidak memihak pilihan nomer dua dan muridnya tidak sudi berguru padanya lagi karena tidak memihak nomer satu. 
Keretakan yang diakibatkan pemilu bisa lebih serius daripada itu. Lalu, integritasnya darimana?
Sayangnya, Indonesia menderita satu penyakit yang cukup serius, Fanatisme. Fanatisme itu berbahaya, bisa menyampingkan akal sehat. Fanatik terhadap sesuatu memacu kita untuk berbuat apapun demi itu. Termasuk fanatik terhadap pilihannya pada pemilu. Pendukung-pendukung calon itu saling bermusuhan, menjelek-jelekkan satu sama lain. Padahal yang kita lihat jelas, didepan kita. Kedua calon itu sendiri saling tersenyum jika sedang berhadapan. 
Deklarasi kampanye damai kemarin sangat bagus, mencakup semua aspek yang baik; damai, demokratis dan bermartabat. Melaksanakan kampanye pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas tanpa hoax, politisasi SARA, dan politik uang. Mewujudkan pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. 
Semoga. Semoga tidak ada berita hoax untuk menjatuhkan rival. Semoga tidak ada disintegrasi yang diakibatkan fanatisme, semoga tidak ada politik uang yang menipu. Tidak ada ramai perang. Yang ada damai dan tenang.  



Zulfa Ulyah Kartika
Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar

© Dakwahpos 2024