Oleh: Arina Marjany
Melihat kembali satu tahun ke belakang, virus yang disebut dengan Covid-19 menggemparkan seisi bumi. Menghentikan aktivitas yang selalu dilakukan oleh semua orang, seperti berkumpul bersama, bekerja di lapangan, belajar tatap muka, berwisata ke tempat-tempat kekinian, dan aktivitas lainnya yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang. Mengapa demikian, sebab munculnya pandemi ini, mengharuskan setiap orang untuk menjaga protokol kesehatan dengan 5 M yaitu memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi. Sampai detik ini, menit ini, dan jam ini pandemi belum juga usai. Pandemi masih menjadi permasalahan yang besar di berbagai negara, dengan begitu setiap negara memutar otak untuk terus mencari solusi yang terbaik untuk keluar dari mimpi buruk ini.
Pandemi secara tidak langsung perlahan-lahan mengikis kebebasan, menjadikan kebebasan seakan-akan sesuatu langka yang diinginkan setiap orang di penjuru dunia. Saking langkanya sebuah kebebasan itu, harapan serta do'a terus dipanjatkan semua orang kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa Atas Segalanya yang ada di muka bumi agar kebebasan secepatnya didapatkan oleh semua makhluk hidup di bumi Allah. Ikhtiar pemerintah Indonesia untuk mencapai kebebasan yang diinginkan oleh warga negaranya yaitu dengan mengeluarkan kebijakan untuk menjaga jarak dan membatasi mobilisasi dan interaksi antar sesama guna menghentikan penyebaran virus Covid-19 yang semakin hari kian menjadi-jadi. Kebijakan pemerintah tersebut beberapa kali berganti nama dan format, pada awalnya dinamakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, hingga PPKM empat level.
Dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah tersebut, tidak sedikit warga di negara tercinta ini merasa terbebani. Pandemi menimbulkan dampak yang sangat besar salah satunya terhadap ekonomi masyarakat, khususnya bidang pariwisata. Mereka yang menjadikan tempat rekreasi sebagai ladang pundi-pundi uang harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa pendapatan mereka terjun bebas jauh dari sebelumnya disebabkan wisatawan yang berkunjung sangat terbatas guna menghindari kerumunan yang akan menyebabkan virus Covid-19 cepat menyebar. Selain itu, mereka harus mengikuti anjuran yang ada apabila pemerintah memberikan perintah untuk menutup sementara pariwisata yang mereka kelola. Tentunya ini sangat merugikan ekonomi masyarakat. Bukan hanya pengelola yang mendapatkan kerugian, wisatawan pun sama halnya merasa dirugikan sebab tempat yang dijadikan healing untuknya tidak bisa dinikmati dengan tenang seperti sebelumnya.
Tidak hanya ekonomi masyarakat saja yang terjun bebas, pendidikan pun merasakan hal yang serupa. Guru, dosen, murid, serta mahasiswa tentunya merasa dirugikan oleh pandemi yang terus berkelanjutan ini. Dimana sistem belajar yang dilakukan yaitu dalam jaringan (daring) alias tidak melalui tatap muka. Mungkin bagi sebagian orang tidak masalah belajar melalui daring sebab mereka memiliki aspek-aspek yang dibutuhkan ketika daring dilaksanakan. Beda halnya dengan kemampuan seseorang yang bahkan handphone yang menjadi inti dari sistem belajar ini tidak punya, ingin membeli namun keadaan ekonomi tidak mencukupi. Kemudian, ketika daring berlangsung tentu saja memerlukan koneksi internet yang cukup dan stabil. Nasib sebagian orang yang koneksinya jelek tentunya sangat dirugikan. Jelas sekali bahwa pendidikan pun dirugikan dengan adanya pandemi ini.
Andai pandemi pergi, semua orang merasakan lagi kenyamanan disaat berpergian, tidak perlu repot-repot menggunakan masker, anak-anak sekolah dengan bahagianya mengenakan kembali baju seragam yang hampir usang, memakai sepatu baru, menggendong tas, di antara mereka berangkat diantar oleh ibu, bapak, kakak, atau bersama dengan teman-temannya sambil merangkul bahu bahkan bergandengan tangan sambil tertawa bersama menertawakan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu lucu. Dan saat melihat keadaan menjadi normal kembali, banyak orang yang kembali bekerja di lapangan, berdagang lalu pulang dengan tidak menyisakan barang dagangannya, membuka kembali pariwisata yang telah lama ditunggu wisatawan untuk sekedar bertemu berbagi cerita. Maka dengan menggenggam sebuah kepercayaan kepada Allah SWT serta tak henti-henti bibir mengucapkan rasa syukur, sang Kholiq akan cepat membiarkan pandemi pergi. Semoga dengan hilangnya pandemi di bumi ini melahirkan kembali senyuman yang telah lama pudar bahkan nyaris hilang lalu digantikan dengan senyum cerah yang terukir pada setiap orang.
Arina Marjany
Mahasiswa Jurusan KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Melihat kembali satu tahun ke belakang, virus yang disebut dengan Covid-19 menggemparkan seisi bumi. Menghentikan aktivitas yang selalu dilakukan oleh semua orang, seperti berkumpul bersama, bekerja di lapangan, belajar tatap muka, berwisata ke tempat-tempat kekinian, dan aktivitas lainnya yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang. Mengapa demikian, sebab munculnya pandemi ini, mengharuskan setiap orang untuk menjaga protokol kesehatan dengan 5 M yaitu memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi. Sampai detik ini, menit ini, dan jam ini pandemi belum juga usai. Pandemi masih menjadi permasalahan yang besar di berbagai negara, dengan begitu setiap negara memutar otak untuk terus mencari solusi yang terbaik untuk keluar dari mimpi buruk ini.
Pandemi secara tidak langsung perlahan-lahan mengikis kebebasan, menjadikan kebebasan seakan-akan sesuatu langka yang diinginkan setiap orang di penjuru dunia. Saking langkanya sebuah kebebasan itu, harapan serta do'a terus dipanjatkan semua orang kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa Atas Segalanya yang ada di muka bumi agar kebebasan secepatnya didapatkan oleh semua makhluk hidup di bumi Allah. Ikhtiar pemerintah Indonesia untuk mencapai kebebasan yang diinginkan oleh warga negaranya yaitu dengan mengeluarkan kebijakan untuk menjaga jarak dan membatasi mobilisasi dan interaksi antar sesama guna menghentikan penyebaran virus Covid-19 yang semakin hari kian menjadi-jadi. Kebijakan pemerintah tersebut beberapa kali berganti nama dan format, pada awalnya dinamakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, hingga PPKM empat level.
Dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah tersebut, tidak sedikit warga di negara tercinta ini merasa terbebani. Pandemi menimbulkan dampak yang sangat besar salah satunya terhadap ekonomi masyarakat, khususnya bidang pariwisata. Mereka yang menjadikan tempat rekreasi sebagai ladang pundi-pundi uang harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa pendapatan mereka terjun bebas jauh dari sebelumnya disebabkan wisatawan yang berkunjung sangat terbatas guna menghindari kerumunan yang akan menyebabkan virus Covid-19 cepat menyebar. Selain itu, mereka harus mengikuti anjuran yang ada apabila pemerintah memberikan perintah untuk menutup sementara pariwisata yang mereka kelola. Tentunya ini sangat merugikan ekonomi masyarakat. Bukan hanya pengelola yang mendapatkan kerugian, wisatawan pun sama halnya merasa dirugikan sebab tempat yang dijadikan healing untuknya tidak bisa dinikmati dengan tenang seperti sebelumnya.
Tidak hanya ekonomi masyarakat saja yang terjun bebas, pendidikan pun merasakan hal yang serupa. Guru, dosen, murid, serta mahasiswa tentunya merasa dirugikan oleh pandemi yang terus berkelanjutan ini. Dimana sistem belajar yang dilakukan yaitu dalam jaringan (daring) alias tidak melalui tatap muka. Mungkin bagi sebagian orang tidak masalah belajar melalui daring sebab mereka memiliki aspek-aspek yang dibutuhkan ketika daring dilaksanakan. Beda halnya dengan kemampuan seseorang yang bahkan handphone yang menjadi inti dari sistem belajar ini tidak punya, ingin membeli namun keadaan ekonomi tidak mencukupi. Kemudian, ketika daring berlangsung tentu saja memerlukan koneksi internet yang cukup dan stabil. Nasib sebagian orang yang koneksinya jelek tentunya sangat dirugikan. Jelas sekali bahwa pendidikan pun dirugikan dengan adanya pandemi ini.
Andai pandemi pergi, semua orang merasakan lagi kenyamanan disaat berpergian, tidak perlu repot-repot menggunakan masker, anak-anak sekolah dengan bahagianya mengenakan kembali baju seragam yang hampir usang, memakai sepatu baru, menggendong tas, di antara mereka berangkat diantar oleh ibu, bapak, kakak, atau bersama dengan teman-temannya sambil merangkul bahu bahkan bergandengan tangan sambil tertawa bersama menertawakan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu lucu. Dan saat melihat keadaan menjadi normal kembali, banyak orang yang kembali bekerja di lapangan, berdagang lalu pulang dengan tidak menyisakan barang dagangannya, membuka kembali pariwisata yang telah lama ditunggu wisatawan untuk sekedar bertemu berbagi cerita. Maka dengan menggenggam sebuah kepercayaan kepada Allah SWT serta tak henti-henti bibir mengucapkan rasa syukur, sang Kholiq akan cepat membiarkan pandemi pergi. Semoga dengan hilangnya pandemi di bumi ini melahirkan kembali senyuman yang telah lama pudar bahkan nyaris hilang lalu digantikan dengan senyum cerah yang terukir pada setiap orang.
Arina Marjany
Mahasiswa Jurusan KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar