Maret 2020 adalah awal kesialan bagi Bangsa Indonesia, penutupan akses keluar-masuk negara dibatasi. Penyebaran wabah pun sangat signifikan, dimulai terpaparnya WNI asal Depok usai mengikuti pesta dansa multinasional bersama warga Jepang yang sudah terpapar Covid-19, hingga saat ini, sudah tercatat jutaan orang meninggal akibat pandemi.
Jelas sekali, banyaknya masyarakat Indonesia yang meninggal menimbulkan duka terdalam. Meskipun bukan sanak saudara dan keluarga, tetapi kehilangan orang-orang yang dicintai sama-sama dirasakan oleh kami semua. Belum lagi dengan perekonomian lumpuh, bukan hanya di negara kita yang masih terbilang negara berkembang, negara adidaya sekalipun, sekelas Negara Amerika mengalami setidaknya krisis moneter hingga minus tiga koma lima persen pada tahun 2020.
Harapan dan doa-doa terus terpanjat, kami ingin dunia pulih kembali. Merangkak perlahan pun tak masalah, konsekuensi apapun akan kami jalani agar terciptanya Indonesia tanpa masker lagi. Penghujung tahun 2021 hampir seluruh dari warga Indonesia sudah terverifikasi mengikuti vaksinasi, ini langkah awal bagi kami menjalani new normal.
Beberapa tayangan di media sosial sudah memperlihatkan penurunan kasus Covid-19 ini, prokes di Indonesia semakin ketat, PSBB terus diterapkan, bahkan mempunyai seriesnya sendiri, PSBB level 4, level 3 dan sekian. Tentu kami menjerit, ekonomi guncang kembali. Bukan hanya rakyat yang merasa sakit hati akan pandemi, mungkin, para politisi kaum kuasa juga sama sakit hati, kan?
Berita negara-negara maju yang sudah cuti bersama masker membuat hati sedikit tenang, bukankah ini waktunya Indonesia untuk berhenti juga? Bukankah ini waktunya Indonesia berdamai dengan luka dari Covid-19? Negara maju seperti Amerika sudah menetapkan regulasinya yang baru, "Di ruang terbuka, kalian boleh melepas masker, menghirup udara dengan bebas…". Mereka sudah menganggap bahwa gejala Covid-19 seperti sakit flu pada umumnya.
Prokes kami sudah ketat kok Tuan dan Puan, kebanyakan dari kami sudah melakukan vaksinasi. Kami harap, pandemi cepat selesai, agar kita sama-sama cuti bersama masker. Yang artinya, perekonomian Indonesia akan tumbuh kembali, inflasi mata uang tidak dinamis lagi.
Banafsha Saffa, Mahasiwi KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat
Jelas sekali, banyaknya masyarakat Indonesia yang meninggal menimbulkan duka terdalam. Meskipun bukan sanak saudara dan keluarga, tetapi kehilangan orang-orang yang dicintai sama-sama dirasakan oleh kami semua. Belum lagi dengan perekonomian lumpuh, bukan hanya di negara kita yang masih terbilang negara berkembang, negara adidaya sekalipun, sekelas Negara Amerika mengalami setidaknya krisis moneter hingga minus tiga koma lima persen pada tahun 2020.
Harapan dan doa-doa terus terpanjat, kami ingin dunia pulih kembali. Merangkak perlahan pun tak masalah, konsekuensi apapun akan kami jalani agar terciptanya Indonesia tanpa masker lagi. Penghujung tahun 2021 hampir seluruh dari warga Indonesia sudah terverifikasi mengikuti vaksinasi, ini langkah awal bagi kami menjalani new normal.
Beberapa tayangan di media sosial sudah memperlihatkan penurunan kasus Covid-19 ini, prokes di Indonesia semakin ketat, PSBB terus diterapkan, bahkan mempunyai seriesnya sendiri, PSBB level 4, level 3 dan sekian. Tentu kami menjerit, ekonomi guncang kembali. Bukan hanya rakyat yang merasa sakit hati akan pandemi, mungkin, para politisi kaum kuasa juga sama sakit hati, kan?
Berita negara-negara maju yang sudah cuti bersama masker membuat hati sedikit tenang, bukankah ini waktunya Indonesia untuk berhenti juga? Bukankah ini waktunya Indonesia berdamai dengan luka dari Covid-19? Negara maju seperti Amerika sudah menetapkan regulasinya yang baru, "Di ruang terbuka, kalian boleh melepas masker, menghirup udara dengan bebas…". Mereka sudah menganggap bahwa gejala Covid-19 seperti sakit flu pada umumnya.
Prokes kami sudah ketat kok Tuan dan Puan, kebanyakan dari kami sudah melakukan vaksinasi. Kami harap, pandemi cepat selesai, agar kita sama-sama cuti bersama masker. Yang artinya, perekonomian Indonesia akan tumbuh kembali, inflasi mata uang tidak dinamis lagi.
Banafsha Saffa, Mahasiwi KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat
Tidak ada komentar
Posting Komentar