Tragedi Kanjuruhan yang sangat memilukan masih tersisa di ingatan masyarakat Indonesia terutama bagi para penikmat sepak bola. Peristiwa yang merenggut 135 korban jiwa bahkan bisa lebih tersebut menjadi pukulan telak bagi negara Indonesia. Seluruh dunia menyoroti bagaimana kinerja negara kita yang tidak siap dalam menanggulangi kejadian tersebut.
Tragedi Kanjuruhan yang seolah-olah terlihat seperti kecelakaan mulai terkuak berbagai fakta di dalamnya. Berbagai media melaporkan bahwa terlihat polisi menembakkan banyak gas air mata ke arah lapangan mau pun ke arah tribun penonton. Temuan lain juga menyatakan bahwa gas-gas air mata yang ditembakkan ternyata sudah dalam keadaan kadaluwarsa. Padahal, penggunaan gas air mata sudah diatur oleh FIFA agar tidak digunakan dalam pengamanan di dalam stadion karena dapat menimbulkan kekacauan dan resiko yang lebih lanjut.
Berat, memang, melihat saudara-saudara kita merenggang nyawa ketika mereka tidak menyadari bahwa kejadian seperti itu menimpa mereka. Mereka datang ke stadion hari itu hanya untuk bersenang-senang dengan teman-teman mereka. Ketika melihat satu nyawa saja sudah merenggang rasanya sudah mengiris hati, apalagi ratusan yang hilang.
Kita tidak hanya menuntut pelajaran, melainkan perubahan yang signifikan. Penyelidikan yang dilakukan selama ini tidak menunjukkan adanya perbedaan di dalam kasus ini. Rekomendasi dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) seolah-olah tidak memiliki nilai bagi para pemangku kewajiban dalam diri PSSI. Bahkan, ketika FIFA datang ke Indonesia saja rekomendasi tersebut tidak disampaikan PSSI.
Penyelidikan yang sudah dilakukan selama ini nampak sia-sia dan tidak ada pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini. Di saat korban-korban terus menderita dan tidak ada kepastian kapan mereka dapat terpenuhi hak-haknya, PSSI dan FIFA justru sibuk bermain fun football dan tersenyum lebar seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sini. #UsutTuntasKanjuruhan
Hamka Elgifari
Tragedi Kanjuruhan yang seolah-olah terlihat seperti kecelakaan mulai terkuak berbagai fakta di dalamnya. Berbagai media melaporkan bahwa terlihat polisi menembakkan banyak gas air mata ke arah lapangan mau pun ke arah tribun penonton. Temuan lain juga menyatakan bahwa gas-gas air mata yang ditembakkan ternyata sudah dalam keadaan kadaluwarsa. Padahal, penggunaan gas air mata sudah diatur oleh FIFA agar tidak digunakan dalam pengamanan di dalam stadion karena dapat menimbulkan kekacauan dan resiko yang lebih lanjut.
Berat, memang, melihat saudara-saudara kita merenggang nyawa ketika mereka tidak menyadari bahwa kejadian seperti itu menimpa mereka. Mereka datang ke stadion hari itu hanya untuk bersenang-senang dengan teman-teman mereka. Ketika melihat satu nyawa saja sudah merenggang rasanya sudah mengiris hati, apalagi ratusan yang hilang.
Kita tidak hanya menuntut pelajaran, melainkan perubahan yang signifikan. Penyelidikan yang dilakukan selama ini tidak menunjukkan adanya perbedaan di dalam kasus ini. Rekomendasi dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) seolah-olah tidak memiliki nilai bagi para pemangku kewajiban dalam diri PSSI. Bahkan, ketika FIFA datang ke Indonesia saja rekomendasi tersebut tidak disampaikan PSSI.
Penyelidikan yang sudah dilakukan selama ini nampak sia-sia dan tidak ada pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini. Di saat korban-korban terus menderita dan tidak ada kepastian kapan mereka dapat terpenuhi hak-haknya, PSSI dan FIFA justru sibuk bermain fun football dan tersenyum lebar seolah-olah tidak terjadi apa-apa di sini. #UsutTuntasKanjuruhan
Hamka Elgifari
Mahasiswa KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar