Ketidakbecusan penyelenggara pertandingan dan kekerasan aparat keamanan, dua hal itu menjadi persoalan utama dari tragedi kanjuruhan. Ada juga yang berpendapat bahwa tragedi ini terjadi karena fanatisme suporter yang berlebih-lebihan, kemudian ada juga pendapat yang menyalahkan jadwal pertandingan atau apapun itu. Mari kita fokus minimal pada yang pertama dulu yaitu ketidakbecusan penyelenggara pertandingan.
Dalam hal ini, jika berbicara tentang "bertanggungjawab" maka bukan hanya sebatas panitia pelaksana yang harus bertanggungjawab. Karena kalau diurutkan tentang siapa sebetulnya yang paling bertanggungjawab berbicara kompetisi sepak bola di semua negara, maka urusan sepak bola diatur oleh federasi. Di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 bahwa tujuan PSSI yaitu untuk menyelenggarakan, mengatur, mengurus, dan mengkoordinir kompetensi. Maka tanggungjawab utama seharusnya ada pada federasi. Tapi ketua PSSI menyatakan tragedi ini, tanggungjawab panitia pelaksana dan tidak ada kaitannya dengan PSSI.
Sebenarnya tidak heran karena dimana-dimana sering sekali terjadi ketika berprestasi maka bos-bosnya yang ambil penghargaan maju ke khalayak, sedangkan ketika ada masalah maka yang disuruh maju kedepan adalah hierarki yang paling bawah. Membicarakan kebijakan, maka tidak bisa dibebankan kepada panitia pelaksana yang ditujuk karena mereka hanya hierarki terbawah dalam struktur jenjang pertanggungjawaban dan pelakasaan penyelenggaraan sepak bola.
Tragedi kanjuruhan adalah peristiwa tragedi kematian suporter olahraga terbesar kedua di dunia, setelah tragedi stadion Naional Peru yang menewaskan 328 orang. Kejadian ini dipicu kekalahan Arema dari Persebaya. Suporter yang kecewa berhamburan ke lapangan untuk menyemangati para pemain. Pihak keamanan yang melihat ini, melakukan pengamanan dengan penggunaan gas air mata dari pihak kepolisian sehingga banyak suporter yang mengalami gangguan pernapasan, mata perih, dan lain-lain yang menimbulkan kerusuhan sehingga berjatuhannya korban jiwa.
Kejadian ini membuat banyak masyarakat kecewa kepada aparat kepolisian karena dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19b telah jelas melarang penggunaan gas air mata untuk pengamanan kondisi sepak bola. Dugaan pelanggaran hukum yang lain, yaitu ditemukannya penganiayaan terhadap suporter, seperti tertuang dalam pasal 351 KUHP, kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tertuang dalam Pasal 70 KUHP dan adanya tindakan kelalaian yang menyebabkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP (dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/).
Kegagalan ini bukan hanya dari aparat, tapi juga datang dari PT. LIB, Indosiar dan PSSI. Oleh karena itu, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab memberikan tiga saran kepada TGIPF tragedi kanjuruhan untuk menjamin tegaknya keadilan, yaitu pemeriksaan menyeluruh penyebab pecahnya peristiwa terutama tentang penembakan gas air mata dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Kemudian perlu diadakan pemeriksaan secara detail tentang persiapan stadion dan penyelenggara pertandingan yang diduga penjualan tiket melebihi daya tampung, terakhir adanya keterbukaan kepada pihak yang melakukan pemantauan dan pendalaman informasi mengenai tragedi ini.
Fitri Anggraini, Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung, Jawa Barat
Dalam hal ini, jika berbicara tentang "bertanggungjawab" maka bukan hanya sebatas panitia pelaksana yang harus bertanggungjawab. Karena kalau diurutkan tentang siapa sebetulnya yang paling bertanggungjawab berbicara kompetisi sepak bola di semua negara, maka urusan sepak bola diatur oleh federasi. Di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 bahwa tujuan PSSI yaitu untuk menyelenggarakan, mengatur, mengurus, dan mengkoordinir kompetensi. Maka tanggungjawab utama seharusnya ada pada federasi. Tapi ketua PSSI menyatakan tragedi ini, tanggungjawab panitia pelaksana dan tidak ada kaitannya dengan PSSI.
Sebenarnya tidak heran karena dimana-dimana sering sekali terjadi ketika berprestasi maka bos-bosnya yang ambil penghargaan maju ke khalayak, sedangkan ketika ada masalah maka yang disuruh maju kedepan adalah hierarki yang paling bawah. Membicarakan kebijakan, maka tidak bisa dibebankan kepada panitia pelaksana yang ditujuk karena mereka hanya hierarki terbawah dalam struktur jenjang pertanggungjawaban dan pelakasaan penyelenggaraan sepak bola.
Tragedi kanjuruhan adalah peristiwa tragedi kematian suporter olahraga terbesar kedua di dunia, setelah tragedi stadion Naional Peru yang menewaskan 328 orang. Kejadian ini dipicu kekalahan Arema dari Persebaya. Suporter yang kecewa berhamburan ke lapangan untuk menyemangati para pemain. Pihak keamanan yang melihat ini, melakukan pengamanan dengan penggunaan gas air mata dari pihak kepolisian sehingga banyak suporter yang mengalami gangguan pernapasan, mata perih, dan lain-lain yang menimbulkan kerusuhan sehingga berjatuhannya korban jiwa.
Kejadian ini membuat banyak masyarakat kecewa kepada aparat kepolisian karena dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19b telah jelas melarang penggunaan gas air mata untuk pengamanan kondisi sepak bola. Dugaan pelanggaran hukum yang lain, yaitu ditemukannya penganiayaan terhadap suporter, seperti tertuang dalam pasal 351 KUHP, kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tertuang dalam Pasal 70 KUHP dan adanya tindakan kelalaian yang menyebabkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP (dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/).
Kegagalan ini bukan hanya dari aparat, tapi juga datang dari PT. LIB, Indosiar dan PSSI. Oleh karena itu, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab memberikan tiga saran kepada TGIPF tragedi kanjuruhan untuk menjamin tegaknya keadilan, yaitu pemeriksaan menyeluruh penyebab pecahnya peristiwa terutama tentang penembakan gas air mata dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Kemudian perlu diadakan pemeriksaan secara detail tentang persiapan stadion dan penyelenggara pertandingan yang diduga penjualan tiket melebihi daya tampung, terakhir adanya keterbukaan kepada pihak yang melakukan pemantauan dan pendalaman informasi mengenai tragedi ini.
Fitri Anggraini, Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung, Jawa Barat
Tidak ada komentar
Posting Komentar