Sabtu (01/10/2022), merupakan hari yang kelam bagi pecinta sepak bola di Indonesia. Bukan hanya suporter Malang yang merasakan kesedihan, tetapi suporter dari berbagai daerahpun ikut merasakannya. Sekitar 127 orang meninggal dalam tragedi kanjuruhan tersebut. Mungkin mereka tidak menyangka hal seperti ini terjadi. Berniat memberikan dukungan kepada para pemain bola, kini pulang malah menjadi duka.
Sikap suporter yang disayangkan, tidak menerima dengan lapang dada siapa yang menang dan siapa yang kalah. Alangkah baiknya jika mereka mengikuti peraturan dengan tertib dari awal sampai akhir pertandingan. Dengan sikap anarkis inilah akhirnya membuat traumatis bagi semua kalangan masyarakat.
Selain itu, para aparat polisi yang tidak bisa mengatasi bentrokan sesama suporter malang, justru menambah kericuhan dengan melempar gas air mata. Akibatnya kepanikan terjadi dimana-mana. Banyak suporter yang sesak nafas dan berlari kesana kemari sampai terinjak satu sama lain untuk keluar dari stadion tersebut.
Adanya pintu keluar stadion kanjuruhan yang masih terkunci, merupakan tanda tanya bagi penyelenggara pertandingan sepak bola tersebut. Padahal lima menit sebelum pertandingan berakhir, pintu keluar harus sudah dibuka. Mereka akhirnya berdesakan, terjepit dan menumpuk untuk menunggu pintu dibuka.
Siapa yang tidak tertegun hatinya, ketika keluarga kehilangan anak, ayah, atau ibu dalam ekstrimisme tragedi kemanusian. Ini merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Sudah sepatutnya kita mengikhlaskan peristiwa ini. Semoga peristiwa ini menjadi hikmah dan tidak akan terulang lagi.
Iva Fadilah KPI 3B
Tidak ada komentar
Posting Komentar