Tragedi Kanjuruhan di Malang kembali menorehkan peristiwa hitam dalam dunia sepakbola, Ratusan orang tewas dalam tragedi ini. Padahal, seperti yang sudah berulangkali dikatakan bahwa "Tidak ada sepakbola yang seharga nyawa".
Tragedi ini dimulai dengan bergeraknya sejumlah suporter tuan rumah yang memasuki lapangan akibat kekecewaan terhadap hasil pertandingan, disusul oleh reaksi pihak pengamanan yang cenderung represif. Semakin memanasnya situasi di lapangan membuat pihak pengamanan yang terdiri dari polisi dan tentara menembakkan gas air mata terhadap kerumunan suporter di tribun.
Akibatnya, kekacauan besar tercipta dengan adanya fakta terkuncinya sebagian besar pintu stadion. Korban jiwa jatuh dengan mayoritas akibat kekurangan oksigen, terinjak-injak dan juga racun gas air mata. Bagi mereka yang tak mampu menghindari gas air mata, maka ajal mereka juga di depan mata. Suatu kondisi yang menyedihkan, mengerikan, dan memilukan.
Nyawa tak bisa dibayar dengan nyawa, tetapi tragedi haruslah dituntaskan dengan bendera keadilan. Untuk siapapun yang bertanggung jawab, apapun yang harus dipertanggung jawabkan, maka sudah selayaknya diadili. Seluruh korban berhak mendapatkan keadilan.
Tragedi besar ini juga harus mampu menjadi evaluasi besar-besaran dari berbagai pihak terkait. Sepak bola sebagai salah satu olahraga terbesar di Indonesia, seharusnya berperan sebagai hiburan bukan menjadi ajang menakutkan yang ciptakan trauma untuk berbagai pihak. Indonesia harus lebih berani, masyarakat harus lebih sadar. Tidak ada yang sepadan dengan nyawa, sepakbola tidak pantas sebagai ajang pertaruhan nyawa.
Kaisa Kurnia Muthmainnah, Mahasiswi KPI UIN SGD Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar