Tragedi kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang menyisakan luka mendalam. Lebih dari seratus orang meninggal dunia dan empat ratus lainnya luka-luka.
Pertandingan sepak bola yang seharusnya menghadirkan kebahagiaan justru berujung pada duka kematian. Lalu, siapakah yang harus bertanggung jawab?
Sikap lepas tangan, hilangnya rasa malu dan miskinnya empati tergambar dari salah satu pemilik otoritas negeri ini. Pernyataan Mochamad Iriawan, Ketua Umum Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang menyudutkan bahwa apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah tanggung jawab Panitia Pelaksana, tidak ada kaitannya dengan PSSI.
Sedangkan dalam Statuta PSSI, pada pasal 4 ayat 2 tercantum tujuan PSSI, yakni mengatur dan/atau mengoordinasikan seluruh kompetisi dan turnamen, baik pada tingkat nasional maupun pertandingan-pertandingan lainnya yang diselenggarakan di Indonesia. Lalu bagaimana mungkin tidak ada kaitanya dengan PSSI?
Kemudian kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan tujuan memberhentikan suporter turun ke lapang, dengan menyemprotkan gas air mata ke tribun penonton, berakhir kericuhan tak terkendali.
Stadion berbeda dengan jalan raya, menghentikan aksi demonstrasi di jalan raya dengan menggunakan gas air mata, para demonstran bisa lari kemanapun, tapi tidak dengan stadion, para penonton menghindari gas air mata dengan mencari pintu keluar, sedangkan pintu keluar masih ditutup.
Jadi siapakah yang harus bertanggung jawab? Daripada meyudutkan satu pihak, lebih baik masing-masing elemen terkait, mulai dari federasi, aparat keamanan, panitia pelaksana, pihak suporter, dan pihak lainnnya melakukan evaluasi, supaya tidak terjadi tragedi kanjuruhan ke-2.
Bilqis Nur Amalia - Mahasiswa KPI UIN SGD Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar